Ki Heru Wiryono MH Pemahat Patung Tugu Raja Sonak Malela serta Reliefnya di Balige Tahun 1975
Patung Jenderal Ahmad Yani setinggi 11 meter berdiri gagah di persimpangan Jalan Imam Bonjol-Jalan Jenderal Sudirman, Medan. Wajahnya pejuang revolusi itu menoleh ke kiri, sementara tangan kanannya menunjuk ke arah kanan. Apa maknanya? Ki Heru Wiryono MH sebagai pematung, pasti punya jawabannya.
Minggu (18/7) siang, wartawan Sumut Pos, Ari Sisworo, berkunjung ke kediaman Ki Heru Wiryono MH di Jalan Polonia No 36 Medan. Saat wartawan koran ini tiba di rumahnya, pria 77 tahun yang memiliki nama kebesaran Sekar Gunung itu tengah berbincang dengan kerabatnya.
Melihat kedatangan wartawan koran ini, Sekar Gunung langsung bangkit dari tempat duduknya dan langsung mempersilakan untuk duduk di sofa rumahnya.
Pria yang pernah mengenyam pendidikan langsung bersama Ki Hajar Dewantara dalam kurun 1952-1955 itu mulai berbincang. Pria yang lahir pada 22 Februari 1934 itu berasal dari Gunung Kidul. Dia hijrah ke Kota Medan tahun 1957, setelah menyelesaikan sekolah di Taman Siswa. Dia berniat, mengajar di sekolah Taman Siswa yang ada di Medan untuk mengisi posisi guru seni yang sangat minim. Di Medan, Sekar Gunung menetap di Jalan Polonia hingga sekarang
Mengapa sampai punya nama Sekar Gunung? Menurutnya, Sekar Gunung yang berarti Bunga Gunung itu sendiri merupakan nama salah satu karya seninya. Nama karya seni itu lama kelamaan melekat di dirinya sebagai nama seni, sehingga banyak yang memanggilnya dengan nama itu. “Kalau nama sehari-hari tetap menggunakan nama Ki Heru Wiryono MH,” jelasnya.
Di rumah bercat putih tersebut, perbincangan terus berlanjut. Mulai dari perjalanannya menjadi guru di sejumlah sekolah negeri yang ada di Medan, hingga akhirnya total terjun menjadi seniman. Salah satu karya seninya adalah Patung Jenderal Ahmad Yani.
Patung itu mulia dikerjakan pada 1965 dan baru selesai pada 1968. Menurutnya, keterlambatan penyelesaian patung karena persoalan yang tidak diprediksi dari awalnya. “Masalahnya persoalan biaya pembuatan. Awalnya saya diminta oleh pihak panitia gabungan unsur tentara, polisi, pemerintah dan pihak swasta. Saat itu saya mengajukan penawaran sebesar Rp65 juta. Namun, ternyata biaya tersebut tak kunjung keluar,” ujarnya.
Ayah tujuh putra-putri tersebut melanjutkan, karena dana tak kunjung cair, Sekar Gunung memutuskan untuk membangun patung dengan biaya sendiri.
“Saya tetap mengerjakannya. Malah pada proses cetakannya, saya memakai tenaga beberapa orang yang saya gaji melalui hasil penjualan lukisan-lukisan saya. Biaya itu adalah biaya pembuatan cetakannya yang saya kerjakan di rumah saya selama empat bulan. Jadi, selama empat bulan itu, saya menggaji tukang dengan uang pribadi saya. Per tukang waktu itu saya gaji sebesar 30 rupiah,” terangnya.
Sambil bekerja, Sekar Gunung terus mendesak agar biaya pembuatan patung segera dicairkan. Dia hanya diberi harapan kosong, tetapi biayanya nihil. Tak habis akal, Sekar Gunung menggelar konferensi pers untuk mengungkapkan hal itu ke publik. Kebetulan, Soeharto, presiden ketika itu punya agenda berkunjung ke Medan.
“Waktu itu saya sempat memanggil wartawan untuk mempublikasikan persoalan ini. Herannya pihak panitia bisa tahu saya memanggil para wartawan. Entah siapa yang memberi tahu. Akhirnya keesokkan harinya, pihak panitia memberi uang Rp6,2 juta. Itu pun karena ada kabar yang mengatakan kalau Presiden Soekarno mau datang ke Medan. Jadi, pihak panitia kelabakan,” terang kakek dari 10 orang cucu tersebut.
Dalam rangka pembuatan patung itu juga, Sekar Gunung beserta pihak panitia sempat sowan ke Istana Negara guna menemui Presiden Sukarno. Saat itu, Sekar Gunung menawarkan dua alternatif yakni, Patung Ahmad Yani dan Relief yang bercerita tentang G 30 S/PKI. Tapi, Soekarno lebih memilih patung Ahmad Yani.
“Waktu itu, Presiden Sukarno mengatakan relief yang saya tawarkan kurang kuat. Jadi, Presiden Soekarno lebih memilih patung Ahmad Yani nya,” ucap Suami dari Sutiyani tersebut.
Mengenai makna dari detil patung tersebut, Sekar Gunung tak menampik ada hubungannya dengan kondisi politik ketika itu. Menurutnya, wajah Ahmad Yani menoleh ke kiri sementara tangan kanannya menunjuk ke arah kanan dan sedikit ke atas adalah Ahmad Yani menyerukan ke pada kaum kiri atau garis keras yakni, kaum komunis (PKI) untuk berpindah haluan ke kaum religi atau partai Islam.
“Maknanya bersifat politis. Ahmad Yani berupaya untuk menunjukkan jalan yang lebih baik yang pada waktu itu menempuh haluan kiri yakni, komunisa (PKI), agar kaum itu mengubah haluan ke garis kanan yakni partai Islam,” cetus pria yang sampai saat ini menjabat sebagai pembimbing Taman Siswa Sumatera Utara, Sumatera Barat, Ria Aceh (Sukaria) tersebut.
Hasil karya monumental Sekar bukan hanya itu. Karya lainnya antara lain, tugu makam pahlawan di Taman Makam Pahlawan Medan yang dibuatnya tahun 1989. Di tahun yang sama, Sekar Gunung membuat tugu dan patung Marsosei setinggi 9 meter di Parapat.
Selain itu, Sekar Gunung juga mencatatkan namanya sebagai pembuat Monumen Penyerahan Kemerdekaan yang berada tepat di depan Museum Perjuangan TNI Jalan Zainul Arifin Medan.
Sebelumnya, di tahun 1983, Sekar Gunung membuat tugu dan Patung Raja Hutagalung di perbatasan Tarutung dan Sibolga. Tahun 1980 Sekar Gunung membuat tugu Marga Silima setinggi 17 meter di Berastagi. Pada tahun yang sama, Sekar Gunung juga membuat Patung Bumi Angus di depan Taman Makam Pahlawan Pangkalan Brandan setinggi 9 meter.
Di Tahun 1980, Sekar Lima mencatatkan sebuah karya sejarag di Gebang yakni perbatasan Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan yakni, Tugu Garis Demarkasi. Tugu Medan Area di bagian dalam Lapangan Merdeka dibuatnya pada tahun 1985.
Jauh sebelum patung-patung itu, Sekar Gunung juga telah membuat sejumlah patung monumental lainnya. Tahun 1967 Patung Letda Sujono di Bandar Betsi Simalungung, 1970 Patung Raja Purba di Pangkalan Purba Tongging, Patung Pahlawan Tak Dikenal di Binjai tahun 1976, Tugu Raja Sonak Malela serta reliefnya di Balige tahun 1975. Selain itu, Sekar Gunung juga menjadi pembuat sejumlah relief di sejumlah hotel di Medan.
Dan karena seni itu pula, Sekar Gunung berhubungan akrab dengan pimpinan daerah Sumatera Utara, Sekar Gunung mengaku, pernah melukis Rudolph M Pardede, Gubernur Sumatera Utara sebelum Syamsul Arifin. Melukis almarhum H T Rizal Nurdin.
“Pak Rudolf dua kali saya lukis. Kalau almarhum Rizal Nurdin waktu dia masih jadi Pangdam I/BB. Dan sekarang, saya sedang merangkai patung ayahanda Gubsu Syamsul Arifin yakni, Almarhum Hasan Perak atas permintaan gubernur sendiri. Rencananya akan dipasang di Pangkalan Brandan,” bilangnya.(*)